“KEHIDUPAN”
Hari mulai
sore ketika truk pengangkut beras datang menghampiri gudang di sebelah timur
pojok rumah pak lurah. Sambil membawa alat perlengkapannya, Marni bergegas
menuju gudang beras untuk mengais rejeki yang sulit untuk dikembangkan. Tanpa
rasa malu dan canggung, Marni mengutip beras yang berserakan akibat jatuh pada
saat beras diturunkan dari truk pengangkut itu. Marni yang hanya seorang janda
yang ditinggalkan suaminya sejak 8 tahun yang lalu karena meninngal akibat
kemiskinan yang melilit keluarga yang sengsara itu. Akibat tuntutan dari
keluarga yang semakin sulit terpenuhi, ditambah lagi suami yang telah tiada dan
anak yang, memaksa Marni harus memutar
otak lebih keras. Dengan latar belakang pendidikan yang hanya lulus Sekolah
Dasar (SD), dan keterampilan dan kreativitas yang tidak dimiliki Marni,
membuatnya sulit mencari pekerjaan yang lebih layak daripada menjadi seorang
penhutip beras bekas yang hasilnya hanya cukup makan sehari dan bahkan tidak
sama sekali. Dengan usia berkepala empat, dan beban yang besar di pundak yang
kian lama kian lemah, membuat Marni hanya bias bekerja sebagai pengutip beras
untuk kecukupan keluarganya di rumah.
***
Beras bercampur
pasir, mungkin kata itulah yang keluar dari mulut ketika kita melihat beras
hasil kutipan Marni selama ini. Setelah beras yang ada dilantai gudang telah
habis, Marni bergegas pulang ke istana kecilnya yang tidak layak jika disebut
rumah. Sambil memikul beras dan alat yang dibawanya tampak di depan rumahnya
berdiri tiga orang anak yang masih kecil, dengan badan yang kotor serta ingus
yang terlihat naik turun dari hidung yang memang tidak mancung. Dengan rasa
kecewa akan hasil beras yang tidak begitu banyak didapat hari ini, dan rasa
letih yang berlebihan akibat berjalan seharian menyusuri gudang. Sambil membuka
karung goni, Marni menyuruh Lukman mengambil penampi yang tergantung di dinding
yang terbuat dari anyaman bambu yang selama 3 tahun tidak diganti setelah 3
tahun yang lalu diganti dari uang hasil sumbangan warga ketika suaminya
meninggal. Dengan sinar lampu yang remang-remang dan mata yang rabun, Marni
dengan sabar memisahkan debu dan pasir yang menempel menjadi satu dengan beras.
Perasaan was-was datang jika nanti banyak penyakit berdatangan yang menyerang
tubuh anaknya yang belum pernah mengonsumsi hal-hal yang ekstrem seperti beras
bercampur pasir. Namun apa mau dikata, keadaan yang membuat mereka harus
begitu. Marni tinggal bersama ketiga orang anaknya Lukman, Sardi, dan Lisa.
Lukman berumur 13 tahun, remaja yang seharusnya duduk di bangku Sekolah
Menengah Pertama (SMP) tetapi kini hanya bias berdiam diri dan membantu ibunya
yang sudah tua. Sementara Sardi, dan Lisa mereka berumur 7 tahun dan 4 tahun
yang kesehariannya hanya tahu makan dan makan tanpa ingin tahu dari mana datang
makanan yang mereka konsumsi selama. Memang hidup yang serba sederhana bahkan
jauh dari kata sederhana membuat kita ingin cepat untuk mengakhiri sisa hidup
di dunia yang pana ini.
***
Siang itu, Marni dan ketiga anaknya sedang beristirahat
sambil duduk-duduk di teras yang beralaskan tanah liat yang berwarna kuning
kecoklat-coklatan.
“Bu, lapar bu.” Itulah kata yang terucap dengan spontan
dari mulut Sardi anaknya yang memang dari pagi belum perutnya belum terisi
sesuap nasi pengganjal perut yang memang menggelisahkan pikiran.
“Sabar nak, sabar. Sebentar lagi kita akan makan.”
“Tapi bu, aku sudah lapar bu.”
“Baiklah, ibu pergi dulu untuk mengambil beras di gudang
beras desa.” Sambil masuk ke dalam rumah mengambil peralatan yang sudah tidak
asing lagi.
Tidak beberapa lama, Marni keluar dan langsung bergegas
dngan berjalan kaki menuju gudang beras yang menurutnya gudang kehidupan, lebih
tepatnya gudang untuk melanjutkan proses kehidupannya dan ketiga anaknya yang
menggantungkan kehidupan kepundak ibu sekaligus janda yang ditinggal suami.
Dengan langkah yang tergesa-gesa, terselip harapan yang besar agar hasil yang
didapat pada hari ini akan lebih besar dan memiliki berkah.
Perasaan was-was bercampur harapan yang besar membuatnya
ragu apakah dia bias memenuhi kebutuhan perut anaknya di rumah. Sesampainya di
tujuan tampak truk pengangkut beras telah berdatangan ke gudang disertai para
pekerja pembongkar beras. Marni bergegas mengeluarkan alat-alat untuk mengutip
beras.
“Lagi apa bu ?” suara dengan nada datar seketika
mengagetkannya. Seketika itu juga Marni menoleh kearah suara yang bertanya
kepadanya.
Sambil mengutip beras, Marni terkejut dengan sosok yang
ada di depannya.
Ternyata orang itu adalah seorang bapak lurah yang dari
tadi siang berada di gudang untuk mendata beras yang masuk pada hari ini.
Dengan rasa malu, Marni menjawab dengan bicara yang terbata-bata.
“Eeee, ini pak. Lagi mengutip beras yang berjatuhan di
lantai, pak.”
Dengan, perasaan heran pak lurah beranggapan bahwa Marni
adalah seseorang yang bekerja sebagai tukang kebersihan di gudang itu.
“Ooo, ibu yang bekerja untuk kebersihan di gudang ini ya,
bu ?”
Dengan mata yang brkaca-kaca.
“Bukan pak. Saya cuma mengutip beras yang jatuh untuk
dibawa pulang pak.”
Mendengarkan pernyataan dari Marni, membuat pak lurah
semakin tidak mengerti, apa maksud dari seorang wanita yang ada di gudang
sambil mengutip beras yang telah jatuh ke lantai kotor itu.
“Dibawa pulang, untuk apa bu ?” Tanya pak lurah dengan
rasa ingin tahu yang semakin menjadi-jadi.
“Dari beras yang saya kumpulkan ini, nantinya akan saya
gunakan untuk makan saya dan keluarga saya di rumah hari ini, pak.”
Mendengar perkataan itu, pak lurah hanya terdiam tanpa
kata, dia tidak bisa membayangkan bagaimana suasana keluarga Marni yang ada di
rumah.
“Nama ibu siapa ?
“Marni pak.”
Beranjak sejenak dan mengambil sekantung beras berisi 15
kilogram.
“Baik buk Marni, ini bu ambil dan pulanglah sekarang.
Mungkin keluarga ibu sudah menunggu di rumah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar